Rabu, 04 Februari 2015

Cerpen



Anak -  Anak Pelaut
Oleh Jamalul Hikmah
      Ferry yang kami tumangi merapat di dermaga. Paman menggamit lenganku . membimbingku keluar dari dek, berbau dengan penumpang-penumpanglain. “Ayo, Om! Lempar, Om, lempar!”
      Aku terkejut mendengar teriakan itu. Sekelompok anak tampak sedang berenang di sekitar pelabuhan. Mereka berteriak-teriak sambilmelambaikan tangan untuk menarik perhatian para penumpang. Beberapa orang melemparkan uang logam ke air. Anak-anak itupun saling berebutan menyelam. Berlomba untuk memperoleh uang receh itu sebanyak-banyaknya.
      “Ayo lempar lagi, Om! Lempar....!” teriak mereka lagi. Pemandangan seperti tadi pun kembali terulang. Menakjubkan sekali! Mereka melekukan hal itu tanpa bantuan alat selam. Mereka memang anak-anak yang mengagumkan, pikirku.
      “Kamu tunggu di sini ya, Win! Jaga barang-barang. Paman mau mengurus angkutan sebentar,” kata Paman kepadaku.
      Aku mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari anak-anak yang sedang berenang itu. Pemandangan unik seperti itu bagiku sungguh luar biasa.
      Seorng anak bertubuh kurus tampak memanjati tali jangkar kapal. Tiba di atas geladak, ia berhenti. Lalu memandangi teman-temannya yang masih bolak-balikmenyelam mengambil uang logam. Diam-diam aku mendekati anak itu. “Capai?” sapaku sok akrab.
      Anak itu menoleh ke arahku agak kaget. “Oh, eh, aku kurang enek badan hari ini,” ujarnya. “Terpaksa berhenti duluan”.
      Kuperhatikan tubuh ceking anak itu. Wajahnya tampak pucat kebiruan. Bibirnya bergemeletuk menahan dingin. Mungkin terlalu lama berendam di dalam air. Anak itu sepertinya sbaya denganku. Mungkin kelas empat atau lima SD. Hanya saja ia tampak lebih tua. Mungkin karena kehidupannya cukup sulit. Seperti yang lainnya, dia hanya mengenakan celana pendek, tanpa baju. Kulitnya hitam mengkilat karena terbakar terik matahari.
      “Sehari biasanya kamu dapat berapa, dari hasil menyelam seperti ini?” tanyaku ingin tahu.
      “Ah tidak banyak. Aku selalu kalah berebut dengan teman-teman lain. Habis aku termasuk anak baru di sini”, katanya sambil memperlihatkan beberapa keping uang receh dari sakunya.
      “Apakah orang tuamu tidak marah kalau tahu apa yang kamu lakukan di sini?”
      Tidak tahulah. Mereka tidak tahu apa yang aku lakukan. Tapi aku bermaksud baik. Ingin meringankan beban mereka. Ayahku sedang sakit jadi tidak bisa melaut. Tidak salah kan, cari uang sendiri? Siapa tahu nanti bisa terkumpul untuk mengobati ayah,” ceritanya dengan sedih.
      Aku menatapnya simpati. “Tidak takut terjadi apa-apa? Bagaimana kalau terhisap baling-baling kapal misalnya?”
      “ ah sampai sekarang belum ada yang pernah mengalami kecelakaan. Kami ini anak nelayan. Sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu,” ujarnya tanpa menyembunyikan rasa bangga.
      Aku mengangguk-angguk. Rasa simpatiku kepadanya semakin besar.
      “Petugas datang! Petugas datang!” tiba-tiba terdengar teriakan seorang anak yang berada di atas germaga. Kemudian anak itu menceburkan diri ke laut. Teman-temannya yang berada di air, berenang menjauhi dermaga.
      “Oh petugas syah bandar datang. Aku harus segera menyingkir. Mereka galak sekali pada anak-anak seperti kami,” kata teman bicaraku itu. Diapun ikut menceburkan diri ke laut., menyusul anak-anak yang lain.
      “Jangaaaa.....” aku terpekik kecil saat ia melompat, sebab sebuah ferry datang merapat. Tubuhnya tergulung dalam pusaran air ferry itu.
      Akan tetapi kulihat orang-orang di sekitarku tenang-tenang saja. Seolah tidak terjadi apa-apa. Aku jadi was-was. Ku coba mencari-cari bayangannya di air.
       Jantungku nyaris copot ketika melirik air di sisi kanan ferry yang baru merapat itu. Samar-samar air terlihat lebih keruh. Apakah itu..... campuran darah? Oh tidak! Dia terhisap baling-baling kapal!
      Tiba-tiba paman sudah berada di belakangku, menepuk pundakku, “Tuh ada yang manggil-manggil kamu,” kata paman.
      Aku menoleh ke arah yang ditunjuk paman. Di sana, agak jauh dari dermaga, tampak sahabat baruku itu sedang melambai-lambaikan tangan diantara teman-temannya. Aku membalas lambaian itu sambil tersenyum lega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar