Anak - Anak Pelaut
Oleh Jamalul Hikmah
Ferry yang kami tumangi merapat di
dermaga. Paman menggamit lenganku . membimbingku keluar dari dek, berbau dengan
penumpang-penumpanglain. “Ayo, Om! Lempar, Om, lempar!”
Aku terkejut mendengar teriakan itu. Sekelompok
anak tampak sedang berenang di sekitar pelabuhan. Mereka berteriak-teriak
sambilmelambaikan tangan untuk menarik perhatian para penumpang. Beberapa orang
melemparkan uang logam ke air. Anak-anak itupun saling berebutan menyelam.
Berlomba untuk memperoleh uang receh itu sebanyak-banyaknya.
“Ayo lempar lagi, Om! Lempar....!” teriak
mereka lagi. Pemandangan seperti tadi pun kembali terulang. Menakjubkan sekali!
Mereka melekukan hal itu tanpa bantuan alat selam. Mereka memang anak-anak yang
mengagumkan, pikirku.
“Kamu tunggu di sini ya, Win! Jaga
barang-barang. Paman mau mengurus angkutan sebentar,” kata Paman kepadaku.
Aku mengangguk tanpa melepaskan pandangan
dari anak-anak yang sedang berenang itu. Pemandangan unik seperti itu bagiku
sungguh luar biasa.
Seorng anak bertubuh kurus tampak
memanjati tali jangkar kapal. Tiba di atas geladak, ia berhenti. Lalu
memandangi teman-temannya yang masih bolak-balikmenyelam mengambil uang logam.
Diam-diam aku mendekati anak itu. “Capai?” sapaku sok akrab.
Anak itu menoleh ke arahku agak kaget.
“Oh, eh, aku kurang enek badan hari ini,” ujarnya. “Terpaksa berhenti duluan”.
Kuperhatikan tubuh ceking anak itu.
Wajahnya tampak pucat kebiruan. Bibirnya bergemeletuk menahan dingin. Mungkin
terlalu lama berendam di dalam air. Anak itu sepertinya sbaya denganku. Mungkin
kelas empat atau lima SD. Hanya saja ia tampak lebih tua. Mungkin karena
kehidupannya cukup sulit. Seperti yang lainnya, dia hanya mengenakan celana
pendek, tanpa baju. Kulitnya hitam mengkilat karena terbakar terik matahari.
“Sehari
biasanya kamu dapat berapa, dari hasil menyelam seperti ini?” tanyaku ingin
tahu.
“Ah tidak banyak. Aku selalu kalah berebut
dengan teman-teman lain. Habis aku termasuk anak baru di sini”, katanya sambil
memperlihatkan beberapa keping uang receh dari sakunya.
“Apakah orang tuamu tidak marah kalau tahu
apa yang kamu lakukan di sini?”
Tidak tahulah. Mereka tidak tahu apa yang
aku lakukan. Tapi aku bermaksud baik. Ingin meringankan beban mereka. Ayahku
sedang sakit jadi tidak bisa melaut. Tidak salah kan, cari uang sendiri? Siapa
tahu nanti bisa terkumpul untuk mengobati ayah,” ceritanya dengan sedih.
Aku menatapnya simpati. “Tidak takut
terjadi apa-apa? Bagaimana kalau terhisap baling-baling kapal misalnya?”
“ ah sampai sekarang belum ada yang pernah
mengalami kecelakaan. Kami ini anak nelayan. Sudah terbiasa dengan hal-hal
seperti itu,” ujarnya tanpa menyembunyikan rasa bangga.
Aku mengangguk-angguk. Rasa simpatiku
kepadanya semakin besar.
“Petugas datang! Petugas datang!”
tiba-tiba terdengar teriakan seorang anak yang berada di atas germaga. Kemudian
anak itu menceburkan diri ke laut. Teman-temannya yang berada di air, berenang
menjauhi dermaga.
“Oh petugas syah bandar datang. Aku harus
segera menyingkir. Mereka galak sekali pada anak-anak seperti kami,” kata teman
bicaraku itu. Diapun ikut menceburkan diri ke laut., menyusul anak-anak yang
lain.
“Jangaaaa.....” aku terpekik kecil saat ia
melompat, sebab sebuah ferry datang merapat. Tubuhnya tergulung dalam pusaran air
ferry itu.
Akan tetapi kulihat orang-orang di
sekitarku tenang-tenang saja. Seolah tidak terjadi apa-apa. Aku jadi was-was.
Ku coba mencari-cari bayangannya di air.
Jantungku nyaris copot ketika melirik air di
sisi kanan ferry yang baru merapat itu. Samar-samar air terlihat lebih keruh.
Apakah itu..... campuran darah? Oh tidak! Dia terhisap baling-baling kapal!
Tiba-tiba paman sudah berada di
belakangku, menepuk pundakku, “Tuh ada yang manggil-manggil kamu,” kata paman.
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk paman.
Di sana, agak jauh dari dermaga, tampak sahabat baruku itu sedang
melambai-lambaikan tangan diantara teman-temannya. Aku membalas lambaian itu
sambil tersenyum lega.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar